Budaya Tong-tong Sumenep
Tong Tong Sumenep
Mengenai keberadaan Tong-Tong Sumenep, menurut Jaap Kunst (dalam Bouvier, 2002:47), berpendapat bahwa sebagian besar tong-tong (kenthongan) yang terbuat dari bambu dan kayu berasal dari jaman pra-Hindu yang disebutkan di dalam karya sastra zaman Hindu: “Pada instrumen yang dikenal melalui sejarah periode Jawa Tengah, penggalian atas candi-candi dari Jawa Timur, harus ditambahkan sejumlah instrumen yang dikenal dari sumber sastra, yang tak diragukan lebih tua beberapa abad dan dapat dipastikan berasal dari zaman pra-Hindu. Misalnya kenthongan bambu bercelah yang dinamai kulkul (Sudamala), titir (Smaradahana), dan kukulan (Bharata Yuddha). Kemudian diberikan contoh nama lokal lain dari alat itu, diantaranya gulgul untuk orang Madura”. Berdasarkan data lama yang dilengkapi data lapangan yang baru, berani menawarkan interpretasi evolusi historisnya, tong-tong awal adalah alat kendang penanda bahaya bagi suatu masyarakat tertentu. Alat tunggal, digantung di suatu tempat di desa dan tidak dipindah-pindahkan, Tong-Tong itu mungkin agaknya jauh lebih berat, seperti kayu atau logam. Di Jawa dan kadang-kadang di Madura, pos keamanan kecil yang tersebar di pedesaan masih menggunakan tong-tong gantung sebagai alat penanda bahaya yang pukulannya mengikuti kode yang berbeda-beda menurut bahaya yang diwartakan. Di daerah Batuputih, Tong-Tong itu masih ada sebagai “tong-tong keluarga” tertentu dan digunakan pada kesempatan tertentu seperti gerhana bulan (Bouvier, 2002:47-48). Menurut Bouvier tersebut menunjukkan bahwa musik tong-tong sudah sejak lama di Madura, terutama di wilayah Sumenep seperti di Batuputih dan Ambuten. Dari sumber lain, yaitu menurut R. Imamiyah bahwa musik tong-tong sudah ada sejak jaman kuno, yaitu: “Tong-tong dilihat dari bentuknya merupakan jenis alat musik asli dari bumi Indonesia diperkirakan berasal sejak jaman kuna. Dari segi nama, memang berasal dari lidah orang Madura. Konon, hal itu diambil dari bunyi yang ditimbulkan alat musik tersebut saat ditabuh. Menurut cerita rakyat Sumenep, khususnya wilayah Ambuten, tong-tong di abad 19 begitu legendaris, yaitu mengisahkan karomah seorang ulama besar Ambuten yang dikenal waliyullah, Kiai Demang Singaleksana alias Kiai Macan. Konon, Sang Kiai dikenal dengan kebiasaannya menabuh Tong-Tong saat mendapat laporan pencurian atau perampokan barang berharga dari rakyatnya. Begitu Tong-Tong ditabuh oleh Kiai Macan, tanpa sadar pencuri itu datang sekaligus dengan barang curiannya. Di masa itu lantas wilayah Ambuten aman dari segala macam pencurian dan perampokan. Pintu-pintu rumah tidak perlu dikunci rapat, atau barang berharga tidak perlu disembunyikan dimana saja, kendati di jalanan, tidak ada satu orang pun yang berani diletakan mengambil selain pemiliknya” Menurut Kiliaan (dalam Bouvier, 2002:42-43), istilah tong-tong untuk menyebut kenthongan kecil yang terbuat dari bambu atau kayu dan mudah dibawa, sedangkan dhung-dhung untuk kenthongan besar yang terbuat dari kayu (digendong dalam posisi di depan). Tong-tong perreng mempunyai bentuk dan ukuran beragam, yaitu mulai dari bentuk silinder bila dibuat dari sebatang bambu berukuran 20 cm sampai dengan hampir 1 meter. Berbentuk labu bengkok bila terbuat dari akar bambu berukuran sekitar 10 cm – 30 cm, celahnya selalu hanya satu dan membujur. Untuk menabuh tong-tong, satu tangan memukul dengan sebatang kayu kecil, sedangkan tangan yang satu memegangnya. Menurut Bouvier (2002), bahwa tong-tong fungsinya yang paling kuno digunakan sebagai alat penanda bahaya tertentu, seperti saat gerhana bulan yang disebut bulan gherring (sakit), dimana setiap keluarga keluar pekarangan membuat suasana ramai, termasuk pepohonan dipukuli. Masa beikutnya tong-tong dikembangkan menjadi alat komunikasi dengan kode-kode pukulan tertentu. Kemudian tong-tong dijadikan sebagai alat musik dalam orkes arak-arakan, yang disebut musik patrol atau patrol kaleleng. Selain itu, fungsinya sebagai hiburan dan memiliki fungsi baru untuk membangunkan orang akan sahur puasa di bulan Ramadhan. Mengenai makna musik Tong-Tong tidak hanya sebagai perwujudan seni musik, melainkan memiliki karakter budaya yang khas yang mampu beradaptasi dengan kehidupan masa kini. Musik Tong-Tong adalah salah satu kebudayaan Madura yang mencerminkan karakteristik masyarakat Madura yang sesungguhnya. Musik Tong-Tong tidak hanya memberikan keindahan bunyi, tetapi juga memberikan ajaran leluhur tentang nilai-nilai seni. Selain itu, merupakan perpaduan dari nilai-nilai kebudayaan Madura yang mengajarkan kebersamaan yang dibuktikan dengan pementasan dimana alat-alat musik dimainkan secara bersama-sama sehingga melahirkan kesatuan bunyi yang sangat indah, dengan tetap ciri khas dari suara tong-tong (kenthongan) (Eko Suhartono Hadie). Dalam perkembanganya, selain sebagai orkes musik, pola-pola ritem tong-tong sering dipakai dalam komposisi musik jenis lain, diantaranya dalam tabuhan ritmik pada klenengan atau musik teater loddrok. Kemudian dari bahannya, tong-tong ada yang dibuat dari pangkal batang pohon siwalan yang disebut dhungdhung, yang biasanya untuk mengiringi acara perlombaan merpati dan orkes tong-tong ini dipakai dalam acara ritual meminta hujan dengan melalui okol atau ojhung (pertarungan memakai rotan). Musik tong-tong ini dapat dikreasikan dan dikolaborasikan dengan alat musik lain, sehingga lahir menjadi garapan yang lebih kreatif dan inovatif tanpa meninggalkan jati dirinya. Melihat perkembangan dan animo penggiat musik tong-tong asal Sumenep, tiap tahunnya dalam festival banyak sekali kreasi yang ditampilkan. Seperti diketahui alat musik yang semula didominasi alat tong-tong (kenthongan) yang terbuat dari bambu, ditambah dengan alat musik lainnya, diantaranya terompet, saronen, rebana, gendang besar dan kecil, drum, serta benda-benda lain yang mengandung unsur bunyi-bunyian. Namun perkembangannya, seperti dalam perlombaan terjadi sebaliknya, alat musik bambu 30 %, lainnya 70 %. Selain itu, yang tampak pengembangannya adalah kereta dorong dirangkai dengan asesoris dan ornamen yang indah dan menarik, dipadu dengan lampu yang gemerlap warna warni sehingga terlihat sangat meriah. Busana yang dipakai lengkap khas Madura, kaos lorek merah putih dengan celana kain berwarna hitam, dengan peci hitam di kepala.
Komentar
Posting Komentar